Tenaga terampil industri olahan kayu, sedikit lagi dari kalangan kaum ibu-ibu dan remaja putri dikarenakan lebih banyak berkiprah di seni kriya kayu. (Dokumen foto: Istimewa)
Pontianak, APIK. Para pelaku industri pengolahan kayu di Kalimantan Barat, menghadapi sejumlah tantangan yang memengaruhi pertumbuhan dan keuntungannya. Hasil kajian Asosiasi Pelaku Industri Kayu (APIK) Kalimantan Barat, sedikitnya terdapat delapan tantangan.
“Pertama, kekurangan bahan baku. Ketersediaan kayu untuk produksi semakin terbatas. Akibat penggundulan hutan sebagai akibat menabrak aturan, perubahan iklim, dan kebijakan pemerintah yang belum pro pelaku usaha kayu. Hal ini mempersulit produsen mendapatkan kualitas dan kuantitas kayu yang mereka butuhkan untuk mempertahankan operasi mereka,” kata Dedy Armayadi S.Hut, Ketua Umum APIK Kalimantan Barat di ruang kerjanya di Pontianak, Kamis, 10 April 2025.
Kedua, sambungnya, tekanan biaya. Produsen kayu menghadapi peningkatan biaya untuk bahan baku, tenaga kerja, ketahanan energi, dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tekanan biaya ini, berdampak signifikan pada laba bersih dan mempersulit untuk tetap kompetitif di pasar.
“Ketiga, persaingan dari bahan alternatif. Meningkatnya penggunaan bahan alternatif, seperti plastik, komposit, dan produk kayu rekayasa telah menjadi pilihan yang semakin populer bagi konsumen. Jelas menimbulkan ancaman untuk industri manufaktur kayu karena berimbas mengurangi permintaan terhadap produk kayu,” tutur Dedy Armayadi.
Keempat, lanjutnya, kurangnya tenaga kerja terampil. Pembuatan produk kayu membutuhkan tenaga kerja terampil. Sedangkan industri produk kayu ini kekurangan tenaga kerja terampil. Akibat dari tenaga kerja yang menua dan kurangnya minat terhadap industri kayu dari pekerja yang lebih muda, membuat industri kayu kekurangan tenaga terampil.
“Kelima, keberlanjutan dan masalah lingkungan. Industri pengolahan kayu telah menjadi sorotan karena dampaknya terhadap lingkungan, kekhawatiran tentang penggundulan hutan, emisi karbon, dan limbah. Konsumen semakin menuntut produk yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, dan produsen harus beradaptasi dengan tuntutan ini. Anggota APIK wajib mendukung visi industri kayu berkelanjutan dan misi industri kayu Lestari,” pinta Dedy Armayadi.
Keenam, imbuhnya, ketidakpastian ekonomi global. Perekonomian global telah dipengaruhi berbagai peristiwa. Seperti perang dagang karena kebijakan tarif bea masuk dan keluar dari Amerika Serikat, menyebabkan ketidakpastian ekonomi nasional, berdampak pada industri manufaktur kayu Kalimantan Barat.
“Ketujuh, perubahan permintaan konsumen. Preferensi dan permintaan konsumen terus berubah, dan produsen harus beradaptasi dengan perubahan ini agar tetap kompetitif. Tren seperti kustomisasi layanan, e-commerce (perdagangan dari lapak online, Red), dan munculnya teknologi digital. Semuanya telah memengaruhi permintaan konsumen,” ucap Dedy Armayadi, pemilik toko kayu dan meubelair Berkah Bintangor ini.
Kali terakhir, masih menurutnya, kepatuhan terhadap peraturan. Industri produksi kayu tunduk pada berbagai peraturan, termasuk peraturan keselamatan, lingkungan, dan ketenagakerjaan. Peraturan ini dapat rumit dan mahal untuk dipatuhi, sehingga menimbulkan tantangan lebih lanjut bagi produsen.
“Sudahlah rumit dan mahal untuk dipatuhi tapi masih juga dikejar pungutan liar (Pungli) dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab,” timpal Dedy Armayadi. (m48)