Kreatif kriya kayu merupakan jurusan di sekolah menengah kejuruan (SMK), mempelajari keterampilan membuat kerajinan dari kayu dan rotan. (Dokumen foto: Istimewa)
Pontianak, APIK . Telaah Asosiasi Pengusaha Industri Kayu (APIK) Kalimantan Barat, industri pengolahan kayu menghadapi kekurangan tenaga kerja yang rumit, mempengaruhi pertumbuhan dan profitabilitasnya. Sedikitnya ada delapan poin yang membuat keadaan kekurangan tenaga kerja terampil di industri kayu.
“Pertama, tenaga kerja yang semakin menua. Rata-rata usia pekerja di industri manufaktur terus meningkat dan tidak ada cukup pekerja muda untuk mengisi sharp tersebut. Di memerlukannya penjagaan regenerasi dari multipihak,” kata Dedy Armayadi S.Hut, Ketua Umum APIK Kalimantan Barat di ruang kerja di Pontianak, Kamis, 10 April 2025.
Multipihak di sini misalnya, mengungkapkan pemilik toko kayu dan meubelair Berkah Bintangor ini, penguatan kriya kayu dan rontan di sekolah menengah kejuruan (SMK). Pelatihan di balai latihan kerja pemerintah hingga Karang Taruna melibatkan tenaga terampil yang teruji atau sudah tersertifikasi. Kemudian dari badan usaha milik negara maupun milik swasta.
“Kedua, kurangnya kesempatan pelatihan. Kesempatan untuk pelatihan dan pengembangan dalam industri ini terbatas, menyulitkan pekerja baru memperoleh keterampilan yang dibutuhkan agar berhasil di industri kayu,” ujar Dedy Armayadi.
Ketiga, lebih lanjutnya, persepsi negatif terhadap industri kayu. Industri pengolahan kayu sering dipandang sebagai sektor berteknologi rendah, pekerjaan kasar dan kotor, bergaji rendah dengan sedikit peluang kemajuan, sehingga membuat calon pekerja enggan memasuki bidang ini.
“Keempat, persaingan dari industri lain: Seperti persaingan di bahan konstruksi dan teknologi, lebih menarik pekerja terampil. Akibatnya sulit bagi industri manufaktur kayu untuk bersaing,” papar Dedy Armayadi.
Kelima, sambungnya, batasan geografis. Kurangnya tenaga kerja diaktifkan lebih terasa di daerah tertentu di Indonesia. Misalnya di provinsi Kalimantan Barat masih sulit bersaing dengan provinsi-provinsi di pulau Jawa yang sudah melek alih teknologi. Ini menyulitkan perusahaan yang berlokasi di Kalimantan Barat untuk menemukan pekerja yang berkualifikasi dan bersertifikasi.
“Keenam, tingkat pergantian karyawan yang tinggi. Pengusaha industri kayu memiliki tingkat pergantian karyawan yang tinggi, membuat upaya mempertahankan pekerja terampil dan menjaga produktivitas menjadi sebuah tantangan,” analisis Dedy Armayadi.
Ketujuh, imbuhnya, kebutuhan akan teknologi baru dan terbarukan. Ketergantungan industri kayu terhadap teknologi yang sudah ketinggalan zaman, dapat menjadikannya kurang menarik bagi para pekerja terampil yang mencari posisi di bidang teknologi tinggi.
“Kedelapan, berdampak pada produksi. Kurangnya tenaga kerja yang diaktifkan di industri manufaktur kayu, menyebabkan tingkat produksi yang lebih rendah, peningkatan waktu henti, dan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi,” tutup Dedy Armayadi. (Bahasa Indonesia: m48 )