make an appointment
APIK Menduga Industri Kayu di Kalimantan Barat 80 Persen Ilegal

Seni kriya kayu mulai dikenalkan sejak usia dini oleh praktisi kerajinan kayu, bertujuan meningkatkan kognitif hingga psimotorik ke ke peserta didik. Istimewa

 

Pontianak, APIK. Hasil investigasi dan analisis Tim Advokasi Asosiasi Pelaku Industri Kayu (APIK) Kalimantan Barat, patut diduga 80 persen peredaran kayu di pasar kayu Kalimantan Barat adalah ilegal. Kenyataan ini ikut ‘membunuh’ industri kayu legal atau sah di pangsa pasar kayu di domestik.

 

“Industri kayu legal sah berizin di Kalimantan Barat, bukan dibunuh oleh serbuan produk kayu luar dari franchise (waralaba, Red) kayu multinasional di toko-toko modern. Akan tetapi dibunuh oleh peredaran kayu ilegal. Hasil investigasi tim kami, diduga peredarannya mencapai 80 persen,” ungkap Dedy Armayadi S.Hut, Ketua Umum APIK Kalimantan Barat di ruang kerjanya, Rabu, 5 Februari 2025.

 

Ia menerangkan dasar hukum untuk penindakan penebangan kayu ilegal adalah undang-undang nomor 18 tahun 2013 (UU 18/2013), tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).  Dasar hukum lain yang terkait dengan penebangan kayu ilegal, peraturan pemerintah (PP) nomor 28 tahun 1995 (28/1995) tentang Perlindungan Hutan.

 

Kemudian Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU 41/1999 tentang Kehutanan, hingga UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.

 

“Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana penebangan kayu illegal. Pasal 83 ayat 1 huruf b UU 18/2013, ancaman pidana penjara maksimum 15 tahun dan denda maksimum Rp100 miliar,” kata Dedy Armayadi.

 

Ketegasan UU 18/2013, imbuhnya, bertujuan untuk menjaga hutan Indonesia. Sebagai salah satu hutan tropis terluas di dunia.

 

“Beberapa ketentuan di UU 18/2013 tentang P3H, saat ini sudah diubah oleh UU Cipta Kerja. Seperti pasal 37 angka 3 UU Cipta Kerja mengubah pasal 12 huruf e UU 18/2013 yang berbunyi, setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan,” papar Dedy Armayadi.

 

Sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan tersebut, sambungnya, termasuk bagi seorang pengemudi atau sopir yang melakukan kegiatan pengangkutan hasil hutan kayu tanpa memiliki surat keterangan sahnya hasil hutan.

 

“Diatur pada pasal 37 angka 13 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 83 ayat (1) huruf b UU 18/2013 yang berbunyi, orang perseorangan yang dengan sengaja mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp500 juta rupiah dan paling banyak Rp2,5 miliar rupiah,” ungkap Dedy Armayadi.

 

Dikatakannya aturan mengenai penerbitan dan penggunaan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 8 tahun 2021 (Permen LHK 8/2021), tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.

 

“Beberapa persoalan yang dihadapi industri perkayuan di Kalbar, salah satunya sumber bahan baku yang sulit diakses pelaku industri. Pasar kayu yang sedang berkembang saat ini, didominasi kayu ilegal yang harganya cenderung lebih murah,” keluh Dedy Armayadi, pemilik toko kayu dan meubelair Berkah Bintangor ini. (m48)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *